Wednesday, 4 October 2017

Pendakian Puncak 29 Beserta Filosofi Spiritual

Panorama Keindahan Alam Puncak 29

Puncak 29 puncak songo likur atau disebut sapto renggo adalah salah satu gugusan gunung di daerah kudus jawa tengah. Gunung satu ini tersimpan keindahan alam begitu juga budaya tanah jawa yang teramat kental dan mistis. Di kawasan rahtawu memiliki berbagai petilasan dengan nama tokoh pewayangan leluhur pandawa. Sebagai contoh petilasan Begawan Eyang Sakri, Lokajaya, Pandu, Palasara, Abiyasa. selain itu terdapat kawasan diberi nama Jonggring Saloko dan puncak songo likur. Walau terdapat nama tokoh-tokoh pewayangan di sana tidak diperboleh nanggap wayang kulit. Jika dilanggar bisa mendapatkan bencana, jika ada hajatpun hanya diperbolehkan naggap Tayup. Menurut masyarakat sekitar Rahtawu nama Rahtawu mempunyai arti getih seng kececeran (darah yang berceceran). Konon leluhur Raja-Raja Jawa merupakan keturunan dinasti Bharata/Sanghyang.

1.  Nama-Nama Petilasan Pewayangan Yang Terdapat Di Puncak 29
Eyang sakri (Bathara Sakti) di Desa Rahtawu Eyang pikulun Narada, dan Bathara Guru. Di Jonggring Saloko dukuh Semliro, Desa Rahtawu Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak gunung Abiyoso Atau Sapto Argo. Eyang Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang Nakula Sadewa di lereng Gunung songo likur. Di puncak terdapat pertapaan Eyang Sanghyang Wenang dan sedikit kebawah pertapaan Eyang Ismaya. Eyang Sakutrem di sendang kaki gunung songo likur sebelah timur. Eyang Lokajaya (nama samaran guru spiritual kejawen Sunan Kali Jaga sebelum bertaubat) di Rahtawu. Eyang Mada (Gajah Mada) dan Eyang Romo (Suprapto) berupa makam di Dusun Semliro.

 Petilasan Pertapaan Begawan Eyang Sakri

 Petilasan Eyang Mada (Gajah Mada)

2. Pendakian Puncak 29
Pendakian di puncak 29 memang belum ada base camp, yang ada hanyalah tempat parkir dan pembayaran karcis pendakian, itupun dikelola oleh warga setempat. Pendakianpun kami mulai dengan memanjatkan doa agar selamat hingga tujuan. Dengan langkah yang santai tidak lupa canda tawa selalu kami utarakan.


 Tempat Membeli Karcis/Base Camp Puncak 29

Setiap langkah kami selalu dibumbui oleh canda tawa agar menghilangkan rasa letih yang ada pada diri kami. Tak lama berjalan kami menemukan tanda bahwa sampai pos 1 dengan ketinggian 731 Mdpl. Pos 1 tidak terdapat warung atau apapun yang bisa untuk berteduh, hanya sebuah tanda yang terbuat dari papan.


 Pos 1 Puncak 29

Kalau dilihat dari jarak yang kami tempuh ternyata pendakian dari pos 1 menuju pos 2 sangatlah dekat. Pos 2 memiliki ketinggian 855 Mdpl disitu terdapat warung dan jembatan untuk melanjutkan pendakian menuju pos 3. Jika kalian yang sudah kelelahan berjalan mampir dulu diwarung yang terdapat di pos 2 sembari merasakan udara yang berada di puncak 29. Kami hanya berhenti sebentar untuk melakukan sesi foto setelah itu kami melanjutkan pendakian kami.


 Pos 2 Puncak 29

Terik matahari semakin menyengat tubuh namun kita tak akan menyerah begitu saja karena pendakian kami masih begitu lama. Puncak 29 memiliki ketinggian 1630 Mdpl, memang puncak 29 tidak begitu tinggi tetapi disana terdapat begitu banyak budaya tanah jawa dan sangatlah mistis. Dalam pendakian kami menemui 2 jalur yaitu jalur Trenggo dan Sendang Bunton. Orang-orang yang ingin melakukan pendakian spiritual atau meditasi di petilasan biasanya melewati jalur Trenggo dikarenakan aturan spiritual konon katanya harus melewati jalur Trenggo. Sedangkan kami memilih melewati Sendang Bunton mengambil air yang berada di sendang tersebut untuk bekal kami mendaki.


 2 Jalur Pendakian Puncak 29

Pendakian kami lanjutkan melewati Sendang Bunton untuk mengambil air dan juga beristirahat di Sendang Bunton. Lama kami mendaki tidak ada satupun melihat tanda-tanda mendekati Sendang Bunton. Terik matahari semakin menyengat hingga kami benar-benar kehabisan persediaan air. Kami gelisah karena kehabisan persedian air hingga hampir menyerah untuk melanjutkan pendakian. Langkah demi langkah kami susuri akhirnya kami menemukan warung. Di depan warung terdapat tanda bahwa sudah sampai di pos 3 dan kami beristirah sejenak mengembalikan tenaga yang hampir habis.


 Pos 3 Puncak 29 Jalur Sendang Bunton

Pos 3 memiliki ketinggian 1014 Mdpl jalannya sudah di bangun namun hanya sebagian saja. Ternyata perjalanan ke Sendang Bunton masih lumayan jauh kata pendaki lain yang sedang turun. Tapi target kami akan beristirahat sejenak di sendang bunton dengan kurun waktu agak lama. Maka dari itu walau terik matahari masih menyengat kami tetap melanjutkan pendakian agar cepat sampai di sendang bunton. Pendakian yang berliku dan banyak sekali jurang disamping kanan kiri kami akhirnya kami sampai di Sendang Bunton.


 Pos 4 Puncak 29 Jalur Sendang Bunton

 Sendang Bunton

Bahagia rasanya kami sampai di Sendang Bunton bisa beristirahat dan mengambil air. Sendang Bunton adalah pos 4 memiliki ketinggian 1158 Mdpl terdapat Mushola dan tempat peristirahatan para pendaki. Sendang Bunton ada yang menyebut air tiga rasa ada pula yang menyebut Mbah Bunton. Setelah di anggap cukup beristirahat kami melanjutkan pendakian kami agar tidak kemalaman di puncak karena tidak membawa tenda. Ada yang bilang Sendang Bunton adalah tempat terakhir singgah para orang yang sedang melaksanakan spiritual. Kalau sudah di Sendang Bunton tidak perlu singgah lagi kemana-mana. Pendakian masih kurang lebih 500 Mdpl lagi, setelah beristirah dan melakukan ibadah kami melanjutkan pendakian. Jalur pendakian kali ini sudah mulai menanjak tanpa ada track bonus sama sekali. Mata kami tertuju pada papan yang menunjukkan dua arah yaitu puncak 29 dan Desa Tempur.


2 Jalur Pendakian Puncak 29

Jika kalian ingin melewati Desa Tempur disana akan ketemu yang namanya Candi Angin. Menurut masyarakat masa lampau Candi Angin adalah tempat penyembahan dari Dewa Angin. Dimana Dewa Angin ini dikenal dengan Dewa Bayu dalam pewayangan. Sedangkan menurut peneliti Candi Angin umurnaya lebih tua dari Candi Borobudur. Candi ini disinyalir peninggalan dari kerajaan Kaliangga, bahkan ada yang beranggapan kalau Candi Angin buatan dari manusia purba dikarenakan tidak ditemukan ornament-ornamen Hindu-Budha. Untuk jalur pendakian yang kami tempuh tetaplah ke puncak 29 tidak melewati Desa Tempur. Kini kami mempercepat langkah agar cepat menuju pos ke 5 supaya tidak petang ketika di puncak.


pos 5 Puncak 29

pos 5 kami temui dengan ciri terdapat warung dan ada lahan yang cocok untuk membangun tenda jika ingin menginap di pos 5. Di pos 5 adalah tempat bertemunya jalur antara Sendang Bunton dan jalur Trenggo. Dengan ketinggian 1260 Mdpl menandakan bahwa kami hampir sampai menuju puncak 29 yang kami dambakan. Selama pendakian menuju pos 6 kami menemukan kebun kopi yang sedang berkembang.


 Duduk Diperkebunan Kopi

 Kopi Yang Sedang Berkembang

Banyaknya kebun kopi membuat rasa capek kami menjadi hilang. Kebun kopi ini sebagian dari ciri-ciri akan sampai pos 6. Jam mulai menunjukkan pukul 3 sore kami berniat berhenti sejenak di pos 6.


 Pos 6 Puncak 29

 Petilasan Pertapaan Eyang Pandu


Petilasan Eyang Pandu terdapat pada pos 6 di sini juga terdapat banyak warung dan tempat untuk istirahat para pendaki. Kami juga mengabiskan waktu di pos 6 untuk menambah setamina karena menuju puncak nanti akan lebih sulit. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk melanjutkan pendakian kami berbincang bincang dengan pendaki lain yang ingin melakukan prosesi spiritual di puncak. Menurut bapak yang kami ajak bicara itu untuk melakukan spiritual seharusnya berangkat setelah magrib. Namun jika hanya ingin mendaki saja kapanpun tidak masalah asal sopan dan berdoa kepada Tuhan agar diberikan selamat. Sekian lama kami berbincang tak terasa sudah pukul 4 sore, waktunya untuk melanjutkan pendakian.


 Potret Pendakian Menuju Puncak 29

Meski track yang kita lewati agak berat namun dengan pemandangan indak puncak 29 menjadikan kami tidak takut akan jurang di setiap langkah kami. Pada akhirnya kami sampai di puncak 29 dengan ketinggian 1630 Mdpl. Dimana terdapat berbagai petilasan pewayangan di atas puncak yaitu Sang Hyang Wenang. Kami memutuskan untuk menginap di puncak meski tempatnya desak-desakan karena tidak membawa tenda jadi siap menanggung resiko. Di puncak juga terdapat 2 penginapan untuk para pendaki yang tidak membawa tenda sendiri dan juga terdapat warung.


 Petilasan Pertapaan Sang Hyang Wenang

Petilasan Pertapaan Resi Manik Manumayasa, Puntadewa (Darmakusuma), Nakula Sadewa, dan Bathara Ismaya (Semar)

Sun Set Puncak 29

Sun Rise Puncak 29

3.  Filosofi Spiritual Puncak 29
Di puncak tertinggi gunung Songo Likur adalah “petilasan pertapaan Sang Hyang Wenang”. Tempatnya sepi kering tidak ada apa-apa alias suwung tan kena kinayangapa. Dibawahnya ada petilasan pertapaan Resi Manik Manumayasa, Puntadewa (Darmakusuma), Nakula Sadewa, dan Bathara Ismaya (Semar). Tokoh-tokoh tersebut merupakan simbul personifikasi manusia titisan dewa yang berwatak selalu menjalankan laku darma pengabdian kepada Hyang Maha Agung. Atau mengajarkan laku-urip yang religius. Sang Hyang Wenang merupakan salah satu nama dari sesembahan (realitas tertinggi) Jawa.

Bathara Ismaya merupakan derivate (tajalli, emanasi) awal dari Sang Hyang Wenang, menggambarkan cangkok atau emban (plasma kalau diibaratkan pada sel hidup). Eyang Manik Manuyasa kiranya merupakan nama lain dari Bathara Manikmaya, yang juga merupakan derivate (tajalli, emanasi) awal Sang Hyang Wenang, menggambarkan kembang, permata atau wiji/benih (inti kalau diibaratkan sel hidup). Sel hidup selalu terdiri dari Inti dan Plasma yang tidak bisa dipisahkan. Demikian pula kiranya konsep Jawa tentang Urip selalu terdiri dari “Manikmaya” dan “Ismaya” yang juga tidak bisa dipisahkan.

Puntadewa dan Nakula-Sadewa adalah tiga satria Pandawa yang tidak pernah berperang.
1. Puntadewa simbol kesabaran
2. Nakula simbol kecerdasan
3. Sadewa symbol kebijaksanaan

Bahkan kemudian dalam mitologi Jawa, Sadewa adalah satria yang mampu meruwat Bethari Durga yang serba jahat menjadi Bethari Uma yang welas-asih. Yang sekarang berdiam di Alas krendo wahana Petilasan ketiga satria Pandawa tersebut ditempatkan di gunung Songo likur dibawah Sang Hyang Wenang.

Bethara Manikmaya dan Bethara Ismaya, melambangkan bahwa kesempurnaan manusia di hadapan Tuhan adalah kesadaran akan sejatining urip, yaitu yang merupakan gabungan Puntadewa (sabar), Nakula (cerdik-pandai) dan Sadewa (arif bijaksana). Puncak kedua di gunung Abiyasa merupakan petilasan pertapaan Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara. Keduanya merupakan maharesi yang tertinggi kawruhnya. Tempatnya juga sepi kering tidak ada apa-apa. Bahkan jalan menuju tempat itu hanya ada satu. Untuk naik dan turun melalui jalan yang sama.

Sepertinya menyiratkan bahwa jalan menuju puncak ketinggian “harkat spirituil manusia” yang bisa dicapai adalah sebagai Resi Abiyasa dan Resi Palasara yang hidup sunyi sepi namun tidak meninggalkan keramaian dunia. Palasara dan Abiyasa konon merupakan leluhur Pandawa. Meskipun hidup sebagai resi (pendeta), namun keduanya terlibat langsung dengan realitas hidup manusia di dunia. Diantaranya terlibat perkara seks dalam arti untuk regenerasi (berketurunan) manusia. Menurut ceritanya pula, keduanya tidak menempati “etika agama” dalam hal bercinta-asmara. Dan lebih kepada naluri alamiah yang terekayasa oleh kebutuhan.

Palasara bercinta-asmara dengan Dewi Lara Amis (Durgandini) di dalam perahu oleh akibat dorongan nafsu birahi keduanya, hingga lahir Abiyasa (baik) dan saudara-saudaranya (jahat).

Abiyasa pun melakukan cinta-asmara dengan janda adiknya oleh kebutuhan Hastinapura akan generasi penerus. Maka petilasan Palasara dan Abiyasa tidak dalam satu gunung dengan Sang Hyang Wenang mengandung maksud, bahwa sesungguhnya untuk mencapai “kesempurnaan harkat kemanusiaan” bisa dicapai juga dengan memenuhi darma sebagai manusia secara alamiah, meskipun darma tersebut mungkin kurang sejalan dengan “norma kesusilaan” dan “etika keagamaan”.

Petilasan Eyang Sakri, Eyang Sakutrem berada di kaki gunung yang rendah. Keduanya juga maharesi leluhur Pandawa. Petilasan pertapaannya berada dekat dengan mata air (sendang), artinya lebih dekat berderajat manusia katimbang dewa.

Petilasan Bathara Narada dan Bathara Guru di Joggring Salaka (kahyangan para dewa) yang juga berada di kaki gunung seolah menyiaratkan pandangan Jawa, bahwa sesungguhnya dewa-dewa juga titah dari Yang Maha Kuasa sama dengan manusia. Dewa juga mempunyai kewajiban ikut terlibat dalam mengatur keharmonisan semesta memayu hayuning bawana. Artinya, di Jawa, Bathara Guru dan Bathara Narada bukan wajib disembah tetapi disetarakan dengan manusia. Begitulah Penafsiran tentang hakekat adanya petilasan pertapaan para Eyang (Hyang) di Rahtawu. Untuk petilasan Eyang Lokajaya dan Makam Eyang Mada, adalah suatu “punden” baru yang tidak ada hubungannya dengan “petilasan pertapaan” paya Hyang dan Resi.