Pendakian Puncak 29 Beserta Filosofi Spiritual
Panorama Keindahan Alam Puncak 29
Puncak 29 puncak songo likur
atau disebut sapto renggo adalah salah satu gugusan gunung di daerah kudus jawa
tengah. Gunung satu ini tersimpan keindahan alam begitu juga budaya tanah jawa
yang teramat kental dan mistis. Di kawasan rahtawu memiliki berbagai petilasan
dengan nama tokoh pewayangan leluhur pandawa. Sebagai contoh petilasan Begawan
Eyang Sakri, Lokajaya, Pandu, Palasara, Abiyasa. selain itu terdapat kawasan
diberi nama Jonggring Saloko dan puncak songo
likur. Walau terdapat nama tokoh-tokoh pewayangan di sana tidak diperboleh nanggap wayang kulit. Jika dilanggar
bisa mendapatkan bencana, jika ada hajatpun hanya diperbolehkan naggap Tayup. Menurut masyarakat sekitar
Rahtawu nama Rahtawu mempunyai arti getih
seng kececeran (darah yang berceceran). Konon leluhur Raja-Raja Jawa merupakan
keturunan dinasti Bharata/Sanghyang.
1. Nama-Nama Petilasan Pewayangan Yang
Terdapat Di Puncak 29
Eyang sakri (Bathara
Sakti) di Desa Rahtawu Eyang pikulun Narada, dan Bathara Guru. Di Jonggring
Saloko dukuh Semliro, Desa Rahtawu Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak
gunung Abiyoso Atau Sapto Argo. Eyang Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang
Nakula Sadewa di lereng Gunung songo
likur. Di puncak terdapat pertapaan Eyang Sanghyang Wenang dan sedikit
kebawah pertapaan Eyang Ismaya. Eyang Sakutrem di sendang kaki gunung songo likur sebelah timur. Eyang Lokajaya
(nama samaran guru spiritual kejawen Sunan
Kali Jaga sebelum bertaubat) di Rahtawu. Eyang Mada (Gajah Mada) dan Eyang Romo
(Suprapto) berupa makam di Dusun Semliro.
Petilasan Pertapaan Begawan Eyang Sakri
Petilasan Eyang Mada (Gajah Mada)
2. Pendakian Puncak 29
Pendakian di puncak 29 memang belum ada base camp, yang ada hanyalah
tempat parkir dan pembayaran karcis pendakian, itupun dikelola oleh warga
setempat. Pendakianpun kami mulai dengan memanjatkan doa agar selamat hingga
tujuan. Dengan langkah yang santai tidak lupa canda tawa selalu kami utarakan.
Tempat Membeli Karcis/Base Camp Puncak 29
Setiap langkah kami selalu dibumbui oleh canda tawa agar menghilangkan
rasa letih yang ada pada diri kami. Tak lama berjalan kami menemukan tanda
bahwa sampai pos 1 dengan ketinggian 731 Mdpl. Pos 1 tidak terdapat warung atau
apapun yang bisa untuk berteduh, hanya sebuah tanda yang terbuat dari papan.
Pos 1 Puncak 29
Kalau
dilihat dari jarak yang kami tempuh ternyata pendakian dari pos 1 menuju pos 2
sangatlah dekat. Pos 2 memiliki ketinggian 855 Mdpl disitu terdapat warung dan
jembatan untuk melanjutkan pendakian menuju pos 3. Jika kalian yang sudah
kelelahan berjalan mampir dulu diwarung yang terdapat di pos 2 sembari
merasakan udara yang berada di puncak 29. Kami hanya berhenti sebentar untuk
melakukan sesi foto setelah itu kami melanjutkan pendakian kami.
Pos 2 Puncak 29
Terik matahari semakin menyengat tubuh namun kita tak akan menyerah
begitu saja karena pendakian kami masih begitu lama. Puncak 29 memiliki
ketinggian 1630 Mdpl, memang puncak 29 tidak begitu tinggi tetapi disana
terdapat begitu banyak budaya tanah jawa dan sangatlah mistis. Dalam pendakian
kami menemui 2 jalur yaitu jalur Trenggo dan Sendang Bunton. Orang-orang yang
ingin melakukan pendakian spiritual atau meditasi di petilasan biasanya
melewati jalur Trenggo dikarenakan aturan spiritual konon katanya harus
melewati jalur Trenggo. Sedangkan kami memilih melewati Sendang Bunton mengambil
air yang berada di sendang tersebut untuk bekal kami mendaki.
2 Jalur Pendakian Puncak 29
Pendakian kami lanjutkan melewati Sendang Bunton untuk mengambil air dan
juga beristirahat di Sendang Bunton. Lama kami mendaki tidak ada satupun
melihat tanda-tanda mendekati Sendang Bunton. Terik matahari semakin menyengat
hingga kami benar-benar kehabisan persediaan air. Kami gelisah karena kehabisan
persedian air hingga hampir menyerah untuk melanjutkan pendakian. Langkah demi
langkah kami susuri akhirnya kami menemukan warung. Di depan warung terdapat
tanda bahwa sudah sampai di pos 3 dan kami beristirah sejenak mengembalikan tenaga
yang hampir habis.
Pos 3 Puncak 29 Jalur Sendang Bunton
Pos 3 memiliki ketinggian 1014 Mdpl jalannya sudah di bangun namun hanya
sebagian saja. Ternyata perjalanan ke Sendang Bunton masih lumayan jauh kata
pendaki lain yang sedang turun. Tapi target kami akan beristirahat sejenak di
sendang bunton dengan kurun waktu agak lama. Maka dari itu walau terik matahari
masih menyengat kami tetap melanjutkan pendakian agar cepat sampai di sendang bunton.
Pendakian yang berliku dan banyak sekali jurang disamping kanan kiri kami
akhirnya kami sampai di Sendang Bunton.
Pos 4 Puncak 29 Jalur Sendang Bunton
Sendang Bunton
Bahagia rasanya kami sampai di Sendang Bunton bisa beristirahat dan
mengambil air. Sendang Bunton adalah pos 4 memiliki ketinggian 1158 Mdpl
terdapat Mushola dan tempat peristirahatan para pendaki. Sendang Bunton ada
yang menyebut air tiga rasa ada pula yang menyebut Mbah Bunton. Setelah di
anggap cukup beristirahat kami melanjutkan pendakian kami agar tidak kemalaman
di puncak karena tidak membawa tenda. Ada yang bilang Sendang Bunton adalah
tempat terakhir singgah para orang yang sedang melaksanakan spiritual. Kalau
sudah di Sendang Bunton tidak perlu singgah lagi kemana-mana. Pendakian masih
kurang lebih 500 Mdpl lagi, setelah beristirah dan melakukan ibadah kami
melanjutkan pendakian. Jalur pendakian kali ini sudah mulai menanjak tanpa ada track bonus sama sekali. Mata kami
tertuju pada papan yang menunjukkan dua arah yaitu puncak 29 dan Desa Tempur.
2 Jalur Pendakian Puncak 29
Jika kalian ingin melewati Desa Tempur disana akan ketemu yang namanya Candi
Angin. Menurut masyarakat masa lampau Candi Angin adalah tempat penyembahan
dari Dewa Angin. Dimana Dewa Angin ini dikenal dengan Dewa Bayu dalam
pewayangan. Sedangkan menurut peneliti Candi Angin umurnaya lebih tua dari Candi
Borobudur. Candi ini disinyalir peninggalan dari kerajaan Kaliangga, bahkan ada
yang beranggapan kalau Candi Angin buatan dari manusia purba dikarenakan tidak
ditemukan ornament-ornamen Hindu-Budha. Untuk jalur pendakian yang kami tempuh
tetaplah ke puncak 29 tidak melewati Desa Tempur. Kini kami mempercepat langkah
agar cepat menuju pos ke 5 supaya tidak petang ketika di puncak.
pos 5 Puncak 29
pos 5 kami temui dengan ciri terdapat warung dan ada lahan yang cocok
untuk membangun tenda jika ingin menginap di pos 5. Di pos 5 adalah tempat
bertemunya jalur antara Sendang Bunton dan jalur Trenggo. Dengan ketinggian
1260 Mdpl menandakan bahwa kami hampir sampai menuju puncak 29 yang kami
dambakan. Selama pendakian menuju pos 6 kami menemukan kebun kopi yang sedang
berkembang.
Duduk Diperkebunan Kopi
Kopi Yang Sedang Berkembang
Banyaknya
kebun kopi membuat rasa capek kami menjadi hilang. Kebun kopi ini sebagian dari
ciri-ciri akan sampai pos 6. Jam mulai menunjukkan pukul 3 sore kami berniat
berhenti sejenak di pos 6.
Pos 6 Puncak 29
Petilasan Pertapaan Eyang Pandu
Petilasan Eyang Pandu terdapat pada pos 6 di sini juga terdapat banyak
warung dan tempat untuk istirahat para pendaki. Kami juga mengabiskan waktu di
pos 6 untuk menambah setamina karena menuju puncak nanti akan lebih sulit.
Sambil menunggu waktu yang tepat untuk melanjutkan pendakian kami berbincang
bincang dengan pendaki lain yang ingin melakukan prosesi spiritual di puncak.
Menurut bapak yang kami ajak bicara itu untuk melakukan spiritual seharusnya
berangkat setelah magrib. Namun jika hanya ingin mendaki saja kapanpun tidak
masalah asal sopan dan berdoa kepada Tuhan agar diberikan selamat. Sekian lama
kami berbincang tak terasa sudah pukul 4 sore, waktunya untuk melanjutkan
pendakian.
Potret Pendakian Menuju Puncak 29
Meski
track yang kita lewati agak berat
namun dengan pemandangan indak puncak 29 menjadikan kami tidak takut akan
jurang di setiap langkah kami. Pada akhirnya kami sampai di puncak 29 dengan
ketinggian 1630 Mdpl. Dimana terdapat berbagai petilasan pewayangan di atas
puncak yaitu Sang Hyang Wenang. Kami memutuskan untuk menginap di puncak meski
tempatnya desak-desakan karena tidak membawa tenda jadi siap menanggung resiko.
Di puncak juga terdapat 2 penginapan untuk para pendaki yang tidak membawa
tenda sendiri dan juga terdapat warung.
Petilasan Pertapaan Sang Hyang Wenang
Petilasan Pertapaan Resi Manik Manumayasa, Puntadewa (Darmakusuma),
Nakula Sadewa, dan Bathara Ismaya (Semar)
Sun Set Puncak 29
Sun Rise Puncak 29
3. Filosofi
Spiritual Puncak 29
Di
puncak tertinggi gunung Songo Likur adalah
“petilasan pertapaan Sang Hyang Wenang”. Tempatnya sepi kering tidak ada
apa-apa alias suwung tan kena kinayangapa.
Dibawahnya ada petilasan pertapaan Resi Manik Manumayasa, Puntadewa
(Darmakusuma), Nakula Sadewa, dan Bathara Ismaya (Semar). Tokoh-tokoh tersebut
merupakan simbul personifikasi manusia titisan dewa yang berwatak selalu
menjalankan laku darma pengabdian
kepada Hyang Maha Agung. Atau mengajarkan laku-urip
yang religius. Sang Hyang Wenang merupakan salah satu nama dari sesembahan
(realitas tertinggi) Jawa.
Bathara
Ismaya merupakan derivate (tajalli, emanasi) awal dari Sang Hyang Wenang,
menggambarkan cangkok atau emban (plasma kalau diibaratkan pada sel hidup). Eyang
Manik Manuyasa kiranya merupakan nama lain dari Bathara Manikmaya, yang juga
merupakan derivate (tajalli, emanasi) awal Sang Hyang Wenang, menggambarkan
kembang, permata atau wiji/benih (inti kalau diibaratkan sel hidup). Sel hidup
selalu terdiri dari Inti dan Plasma yang tidak bisa dipisahkan. Demikian pula
kiranya konsep Jawa tentang Urip
selalu terdiri dari “Manikmaya” dan “Ismaya” yang juga tidak bisa dipisahkan.
Puntadewa
dan Nakula-Sadewa adalah tiga satria Pandawa yang tidak pernah berperang.
1.
Puntadewa simbol kesabaran
2.
Nakula simbol kecerdasan
3.
Sadewa symbol kebijaksanaan
Bahkan
kemudian dalam mitologi Jawa, Sadewa adalah satria yang mampu meruwat Bethari
Durga yang serba jahat menjadi Bethari Uma yang welas-asih. Yang sekarang berdiam di Alas krendo wahana Petilasan
ketiga satria Pandawa tersebut ditempatkan di gunung Songo likur dibawah Sang Hyang Wenang.
Bethara
Manikmaya dan Bethara Ismaya, melambangkan bahwa kesempurnaan manusia di
hadapan Tuhan adalah kesadaran akan sejatining
urip, yaitu yang merupakan gabungan Puntadewa (sabar), Nakula (cerdik-pandai)
dan Sadewa (arif bijaksana). Puncak kedua di gunung Abiyasa merupakan petilasan
pertapaan Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara. Keduanya merupakan maharesi yang
tertinggi kawruhnya. Tempatnya juga
sepi kering tidak ada apa-apa. Bahkan jalan menuju tempat itu hanya ada satu.
Untuk naik dan turun melalui jalan yang sama.
Sepertinya
menyiratkan bahwa jalan menuju puncak ketinggian “harkat spirituil manusia”
yang bisa dicapai adalah sebagai Resi Abiyasa dan Resi Palasara yang hidup
sunyi sepi namun tidak meninggalkan keramaian dunia. Palasara dan Abiyasa konon
merupakan leluhur Pandawa. Meskipun hidup sebagai resi (pendeta), namun
keduanya terlibat langsung dengan realitas hidup manusia di dunia. Diantaranya
terlibat perkara seks dalam arti untuk regenerasi (berketurunan) manusia.
Menurut ceritanya pula, keduanya tidak menempati “etika agama” dalam hal
bercinta-asmara. Dan lebih kepada naluri alamiah yang terekayasa oleh
kebutuhan.
Palasara
bercinta-asmara dengan Dewi Lara Amis (Durgandini) di dalam perahu oleh akibat
dorongan nafsu birahi keduanya, hingga lahir Abiyasa (baik) dan
saudara-saudaranya (jahat).
Abiyasa pun melakukan cinta-asmara dengan
janda adiknya oleh kebutuhan Hastinapura akan generasi penerus. Maka petilasan
Palasara dan Abiyasa tidak dalam satu gunung dengan Sang Hyang Wenang
mengandung maksud, bahwa sesungguhnya untuk mencapai “kesempurnaan harkat
kemanusiaan” bisa dicapai juga dengan memenuhi darma sebagai manusia secara
alamiah, meskipun darma tersebut mungkin kurang sejalan dengan “norma
kesusilaan” dan “etika keagamaan”.
Petilasan
Eyang Sakri, Eyang Sakutrem berada di kaki gunung yang rendah. Keduanya juga
maharesi leluhur Pandawa. Petilasan pertapaannya berada dekat dengan mata air
(sendang), artinya lebih dekat berderajat manusia katimbang dewa.
Petilasan
Bathara Narada dan Bathara Guru di Joggring Salaka (kahyangan para dewa) yang
juga berada di kaki gunung seolah menyiaratkan pandangan Jawa, bahwa
sesungguhnya dewa-dewa juga titah dari Yang Maha Kuasa sama dengan manusia.
Dewa juga mempunyai kewajiban ikut terlibat dalam mengatur keharmonisan semesta
memayu hayuning bawana. Artinya, di
Jawa, Bathara Guru dan Bathara Narada bukan wajib disembah tetapi disetarakan
dengan manusia. Begitulah Penafsiran tentang hakekat adanya petilasan pertapaan
para Eyang (Hyang) di Rahtawu. Untuk petilasan Eyang Lokajaya dan Makam Eyang
Mada, adalah suatu “punden” baru yang tidak ada hubungannya dengan “petilasan
pertapaan” paya Hyang dan Resi.